Sidang Lanjutan PSHT, Murjoko Nampak Terdiam Selama Persidangan
Ilmusetiahati.com – Sidang lanjutan perkara kubu Mas Murjoko melawan Menteri Hukum dan HAM RI terkait badan hukum PSHT kembali digelar Kamis, 9 Oktober 2025, di Pengadilan Negeri Bandung. Dalam suasana mediasi yang penuh ketegangan, sejumlah insiden dan klaim strategis muncul, memunculkan sorotan publik terhadap legitimasi kepemimpinan PSHT dan integritas proses hukum. Artikel ini merangkum seluruh fakta persidangan, merujuk putusan hukum terdahulu, serta menyajikan data tambahan terkait status legal organisasi PSHT.
Sidang kali ini lebih difokuskan pada proses mediasi, sebagai upaya meredam konflik internal dan mencari jalan damai antar pihak bersengketa (principal). Namun, dinamika persidangan menunjukkan bahwa posisi kuasa hukum menjadi sangat dominan, sementara pihak inti — yaitu Mas Murjoko — cenderung mengambil sikap pasif.
Di luar prediksi, di tengah jalannya sidang seorang tokoh bergelar akademik tiba-tiba terjatuh dari kursinya. Majelis hakim kemudian mengganti kursinya. Beberapa hadirin memaknai insiden ini sebagai simbolis, bahwa “alam ikut menghakimi” dan mendukung arah kebenaran tertuju pada pihak yang benar.
Tim kuasa hukum penggugat menyebut bahwa kuasa hukum tergugat adalah “wajah baru” yang belum paham sejarah PSHT. Namun fakta bahwa Kangmas Bambang telah bertugas sebagai kuasa hukum organisasi sejak 2017, bersama Mas Welly, Mas Agung, dan Mas Samsul, dipakai sebagai bantahan atas tuduhan itu.
Baca Juga : 5 Unsur yang Terkandung dalam Pencak Silat, Teknik Dasar, Tujuan, dan Manfaat Terlengkap
Kuasa hukum penggugat menyatakan keberatan jika mediasi dilakukan bersama dua principal (Mas Murjoko dan Dr. Ir. Muhammad Taufiq). Keberatan ini dianggap kontradiktif terhadap semangat rekonsiliasi, karena menghindari dialog antara kedua tokoh utama dalam konflik.
Sikap Mas Murjoko yang Terlihat Diam
Dalam proses mediasi, Mas Murjoko tidak banyak berbicara atau memimpin jalannya dialog. Sebaliknya, kuasa hukum mereka justru menjadi lebih dominan, menjadikan mediasi tampak seperti ruang debat hukum, bukan ruang antar-principal berbasis persaudaraan.
Majelis hakim memutuskan mediasi akan dilanjutkan dalam waktu dua minggu ke depan. Fokus pertemuan itu adalah menjadikan mediasi benar-benar sebagai jalan rekonsiliasi, bukan ajang konflik berkepanjangan.
Agar pemahaman terhadap konflik ini tidak sekadar narasi persidangan, penting untuk melihat latar legalitas dan putusan pengadilan sebelumnya.
Pada tahun 2025, Kemenkumham RI menerbitkan SK Menkumham Nomor AHU-06.AH.01.43 Tahun 2025, yang secara sah mengukuhkan Dr. Ir. Muhammad Taufiq, S.H., M.Sc. sebagai Ketua Umum PSHT. SK tersebut juga membatalkan badan hukum lama yang diklaim kubu Moerdjoko.
Sebelumnya, MA menolak Peninjauan Kembali (PK) dari kubu Moerdjoko untuk perkara dengan register 237 PK/TUN/2022, sehingga keputusan Mahkamah Agung dianggap menghentikan dualisme kepemimpinan PSHT.
Menurut catatan dalam organisasi PSHT, dualisme muncul ketika pada 2017 sebagian anggota menyelenggarakan Parapatan Luhur tandingan yang menetapkan Moerdjoko sebagai Ketua Umum alternatif, setelah sebelumnya Parapatan Luhur 2016 menetapkan Muhammad Taufiq.
Berdasarkan putusan PK tersebut dan SK Menkumham, pemerintah hanya mengakui satu kepengurusan PSHT, yaitu yang berada di bawah Muhammad Taufiq.
Namun, kubu Moerdjoko menilai pencabutan status badan hukum mereka sebagai tindakan ilegal, karena tidak lewat keputusan pengadilan.
Selain itu, kritik muncul terhadap kuasa hukum baru kubu Moerdjoko, termasuk dugaan kesalahan administratif, seperti lupa mencantumkan alamat, yang dikemukakan oleh mantan lawyer Punjer Madiun, Ujang Wartono.
Dengan demikian, secara legal formal, kepemimpinan PSHT yang diakui negara saat ini adalah di bawah Muhammad Taufiq. Namun, dalam praktik organisasi dan persidangan, bahwa tantangan klaim oleh kubu Moerdjoko masih memainkan narasi legal dan historisnya sendiri.
Berikut rangkuman poin-poin penting fakta yang layak dicatat:
- Sidang mediasi sebagai upaya penyelesaian sengketa internal memilih jalur hukum dan rekonsiliasi, namun dinamika menunjukkan bahwa mediasi berubah menjadi arena sengketa retorika antara kuasa hukum.
- Keberadaan insiden fisik di ruang sidang (kursi jatuh) menimbulkan interpretasi simbolik yang diperkuat oleh para hadirin.
- Tuduhan bahwa kuasa hukum tergugat adalah “wajah baru” disanggah dengan data historis bahwa tim tersebut aktif sejak 2017.
- Keberatan terhadap mediasi antara principal dapat menegaskan bahwa kubu penggugat tidak bersedia dialog langsung dengan kubu lain.
- Diamnya Mas Murjoko dalam mediasi bisa dilihat sebagai strategi menahan diri agar komunikasi tidak “terkontrol” oleh kuasa hukum dari pihaknya sendiri.
- Legalitas organisasi PSHT berada dalam posisi bahwa negara dan Mahkamah Agung telah menetapkan satu kepengurusan yang sah (Muhammad Taufiq), sementara kubu lawan tetap mempertanyakan legitimasi proses pencabutan badan hukum.
Sidang lanjutan PSHT pada 9 Oktober 2025 di PN Bandung memperlihatkan kompleksitas konflik internal yang melibatkan aspek hukum, sejarah organisasi, dan narasi persaudaraan. Meskipun secara legal negara—melalui SK Menkumham dan putusan MA—hanya mengakui satu kepemimpinan, jalannya mediasi masih menyisakan pertentangan naratif dan strategi advokasi. Pertemuan selanjutnya menjadi momen krusial agar mediasi benar-benar menjadi mekanisme rekonsiliasi, bukan panggung konflik berkepanjangan.
Baca Juga : Sejarah & Lirik Mars SH Terate Ciptaan Adi Yasco
Dengan pemaparan fakta persidangan, legalitas, dan data historis, artikel ini menjadi sumber referensi komprehensif bagi pembaca yang ingin memahami dinamika “Sidang Lanjutan PSHT 2025”.(ikrar)

