Sukriyanto : Banyak dari Kubu Madiun Ingin Ketua diganti, Ini Solusi Dualisme PSHT
Ilmusetiahati.com – Dualisme Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) telah menjadi salah satu isu paling kompleks dalam dunia organisasi pencak silat di Indonesia. Perselisihan internal ini menimbulkan dampak luas, baik bagi warga PSHT sendiri maupun masyarakat umum. Permasalahan utama berakar pada perbedaan kepemimpinan dan legitimasi organisasi, yang kemudian memunculkan dua kubu besar, salah satunya berbasis di Madiun.
Menurut Sukriyanto,S.H.,M.H (LHA PSHTPM 2017-2024) dalam sejumlah catatan hukum, permasalahan ini bermula dari klaim badan hukum dan hak atas merek PSHT. Dua kubu sama-sama mengklaim memiliki legalitas. Meski demikian, menurut keterangan salah satu pengamat hukum organisasi, tidak ada undang-undang yang melarang kegiatan organisasi meskipun badan hukumnya diperdebatkan.
“Tidak ada satu pun amanat undang-undang yang melarang organisasi untuk beraktivitas meski status badan hukumnya masih diperdebatkan,” ujar Sukriyanto.
Dualisme ini tidak hanya berdampak pada struktur organisasi, tetapi juga dirasakan langsung oleh warga di tingkat bawah. Beberapa cabang mengalami ketegangan, bahkan ada laporan mengenai benturan antaranggota karena perbedaan loyalitas.
Baca Juga : Sutrisno Budi : Tolak Nyawiji Analisis Blunder
Di sisi lain, banyak warga tetap berpegang pada prinsip dasar: bahwa menjadi bagian dari PSHT bukan semata soal pengurus pusat, melainkan soal menjaga nilai persaudaraan dan ajaran yang diwariskan para pendiri.
“Yang penting aku tetap SH, aku tetap akan SH. Itu sikap yang benar, karena inti PSHT adalah persaudaraan, bukan sekadar struktur organisasi,” kata Sukriyanto.
Faktanya banyak warga PSHT dari kubu Madiun menghendaki adanya pergantian pemimpin. Hal ini didorong oleh pandangan bahwa regenerasi diperlukan agar organisasi tetap segar dan solid.
Perpecahan semakin tajam karena masing-masing pihak mempertahankan posisi. Sukriyanto menilai, penyelesaian konflik hanya mungkin terjadi jika kedua belah pihak mampu menurunkan ego dan mengutamakan kepentingan organisasi.
engketa hukum mengenai siapa yang sah memimpin PSHT menjadi sumber kebingungan di kalangan warga. Akibatnya, muncul persepsi berbeda di lapangan.
Salah satu mekanisme penyelesaian yang sering disebut adalah Parapatan Luhur, forum tertinggi dalam tradisi organisasi PSHT. Melalui forum ini, seluruh pihak bisa duduk bersama mencari jalan keluar. Namun, pelaksanaannya hingga kini sulit terealisasi karena perbedaan kepentingan dan ketidakmauan pihak-pihak tertentu untuk mengalah.
Meski demikian, sejumlah pihak menegaskan bahwa perapatan luhur masih menjadi harapan terbesar untuk mengakhiri dualisme ini. Harapannya, forum tersebut dapat melahirkan pemimpin baru yang adil, tidak otoriter, dan tidak mudah mencabut hak warga.
Para sesepuh PSHT mengimbau warga agar tidak terjebak dalam konflik di tingkat elit. Mereka diminta untuk tetap fokus pada latihan, menjaga persaudaraan, dan tidak terprovokasi. Tujuannya agar dualisme tidak melemahkan jati diri organisasi sebagai wadah pembinaan mental, spiritual, dan bela diri.
“Warga di bawah tidak perlu terpancing. Kita tetap PSHT, apapun yang terjadi di atas. Biarlah para pemimpin yang mencari penyelesaian terbaik,” ujar Sukriyanto.
Dualisme PSHT mencerminkan tantangan besar bagi organisasi pencak silat dengan jumlah anggota yang sangat besar. Penyelesaian konflik ini memerlukan kebesaran hati, pengorbanan ego, serta pengembalian PSHT kepada jati dirinya sebagai organisasi persaudaraan.
Baca Juga : Malam Tirakatan 17 Agustus, PSHT Serukan Doa, Persatuan, dan Semangat Kemerdekaan
Apapun bentuk penyelesaiannya, masa depan PSHT akan sangat bergantung pada kesediaan kedua kubu untuk kembali ke meja perapatan luhur. Harapan besar tetap ada, bahwa organisasi ini akan kembali bersatu demi menjaga warisan luhur pencak silat Indonesia.

