Seluruh Ketua Umum SH Terate
ilmusetiahati.com – Seluruh ketua umum SH Terate memiliki peran penting dalam perjalanan panjang organisasi ini sejak awal dirintis. Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) berawal dari cikal bakal organisasi pencak silat yang didirikan oleh Ki Hadjar Hardjo Oetomo pada 1 September 1922. Awalnya, bentuk organisasi ini adalah perguruan dengan nama Setia Hati Pencak Sport Club (SH PSC). Seiring waktu, struktur kepemimpinan berkembang hingga menjadi organisasi besar dengan badan hukum resmi.
PSHT berdiri sebagai organisasi persaudaraan berbasis seni bela diri pencak silat. Perubahan dari perguruan menjadi organisasi resmi dilakukan secara bertahap. Saat ini, PSHT telah memiliki legalitas Badan Hukum Perkumpulan yang dikeluarkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia melalui Nomor AHU-0005248.AH.01.07.Tahun 2025. Legalitas tersebut memperkuat posisi organisasi di tingkat nasional.
Memasuki periode terbaru, kepemimpinan SH Terate dipegang oleh Dr. Ir. H. Muhammad Taufiq, SH., M.Sc. Beliau menjabat sebagai Ketua Umum berdasarkan struktur organisasi yang telah memiliki legalitas resmi dari pemerintah. Penetapan badan hukum tersebut memastikan seluruh kegiatan organisasi berada dalam payung hukum yang jelas.
Peran Ketua Umum tidak hanya terbatas pada administrasi, tetapi juga memastikan bahwa ajaran pencak silat dan persaudaraan yang menjadi dasar PSHT tetap terjaga. Selain itu, Ketua Umum bertugas membina koordinasi antar-cabang, mengatur program kerja, serta menjaga hubungan baik dengan berbagai pihak terkait.
Berikut adalah daftar kepemimpinan dalam sejarah SH Terate :
1. Ki Hadjar Hardjo Oetomo, 1922-1941 (Perintis SH Terate)
Ki Hadjar Hardjo Oetomo lahir dengan nama kecil Samingoem, Lahir di Winongo, Madiun, Jawa Timur, Tahun 1883 dan meninggal pada 13 April 1952 pada usia 69 Tahun di makamkan di Desa Pilangbango Madiun.
1922 Ki Hadjar Hardjo Oetomo merintis SH Muda atau PSC (Pemuda Sport Club) sebahai wadah perjuangan para pemuda untuk bergerilya meraih kemerdekaan, paska kemerdekaan nama SH PSC kini berubah menjadi SH Terate yang lebih membumi.
Masa kecil hingga remaja dihabiskannya di lingkungan tersebut. Awal kariernya adalah sebagai guru magang di SD Banteng Madiun, namun ia tidak betah dan kemudian berpindah sebagai pekerja di Leerling Reambate di SS (PJKA) di Bondowoso, Panarukan, dan Tapen.
Pada tahun 1906, Ki Hadjar Hardjo Oetomo meninggalkan PJKA dan mulai bertugas sebagai Mantri Pasar Spoor di Mlilir, Madiun, dengan jabatan terakhir sebagai Ajudan Opsioner di Mlilir, Dolopo, Uberan, dan Pagotan. Selanjutnya, pada tahun 1916 dia bekerja di pabrik gula Redjo Agung Madiun, dan pada 1917 menjadi saudara SH serta dikecer langsung oleh pendiri Persaudaraan Setia Hati, Ki Ngabei Soerodiwirjo. Pada tahun yang sama, beliau bertugas di stasiun kereta api Madiun hingga mencapai posisi Hoof Komisaris.
Guna mendukung perjuangan kemerdekaan dari penjajahan Belanda, pada tahun 1922 Ki Hadjar Hardjo Oetomo bergabung dengan organisasi Syarekat Islam dan Boedi Oetomo. Bersama pemuda anggota organisasi tersebut, ia mendirikan Setia Hati Pencak Sport Club (SH PSC) di Desa Pilangbango, Madiun—yang kemudian berkembang menjadi Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT), menjangkau wilayah seperti Nganjuk, Kertosono, Jombang, Ngantang, Lamongan, Solo, dan Yogyakarta.
Pada tahun 1925, pemerintah Belanda menangkap Ki Hadjar Hardjo Oetomo dan memenjarakannya terlebih dahulu di Cipinang, kemudian memindahkannya ke Sumatera Barat selama 15 tahun. SH PSC dibubarkan Belanda karena mengandung kata “pencak”. Setelah kembali bebas, Ki Hadjar mengaktifkan kembali organisasi itu dengan mengganti nama “pencak” menjadi “pemuda” demi mengelabui pihak penjajah—nama yang kemudian bertahan hingga tahun 1942 ketika Jepang datang ke Indonesia.
Hardjo Oetomo mengumpulkan para pemuda untuk melatih pencak silat sebagai alat perjuangan melawan penjajah, hingga akhirnya saat ini wadah yang beliau rintis tumbuh dan berkembang dengan nama Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT).
Ki Hadjar Hardjo Oetomo sendiri sebagai perintis dan pendiri SH Terate(saat itu bernama SH PSC) memimpin perkumpulanya dari tahun 1922 sampai dengan 1941, Perkumpulanya beliau gunakan sebagai alat untuk melawan penjajah kolonial belanda.
Sejak tahun 1941 beliau mulai jatuh sakit sehingga ketua pelatih diteruskan oleh murid murid beliauKi Hadjar Hardjo Oetomo meninggal pada 13 April 1952 dan dimakamkan di TPU Desa Pilangbango, Madiun, Jawa Timur. Atas jasa perjuangannya dalam keterlibatan kemerdekaan, Pemerintah Republik Indonesia memberikan gelar Pahlawan Perintis Kemerdekaan RI pada tahun 1952.
2. Soemo Soedardjo, Hoofd Leider SH PSC 1941-1943
Pada tahun 1941, Ki Hadjar Hardjo Oetomo, tokoh pendiri dalam sejarah perkembangan SH (Setia Hati) Muda, mulai mengalami penurunan kesehatan. Kondisi ini berlangsung sejak 1941 hingga 1943. Selama masa tersebut, tanggung jawab kepemimpinan dalam pelatihan di SH Muda diberikan kepada Soemo Soedardjo, anak angkat bungsu dari Ki Hadjar Hardjo Oetomo.
Dalam struktur organisasi SH Muda pada masa itu, Soemo Soedardjo dipercaya mengemban amanah sebagai Hoofd Leider atau Ketua Pelatih. Meski posisi pelatih utama telah dipegang Soemo Soedardjo, peran Ki Hadjar Hardjo Oetomo tetap sangat penting, terutama dalam memberikan bimbingan spiritual dan nilai-nilai kerohanian kepada anggota SH Pemuda Sport Club. Hal ini menegaskan bahwa pembinaan anggota SH tidak hanya berfokus pada keterampilan fisik, tetapi juga pada pembentukan karakter dan moral.
Selain menjalankan tugas sebagai Ketua Pelatih, Soemo Soedardjo juga memiliki kontribusi signifikan dalam pengembangan cabang organisasi. Beliau mendirikan sebuah cabang SH di Jalan Ponorogo, Madiun, yang menjadi salah satu pusat kegiatan latihan. Perluasan jaringan cabang ini turut mendukung penyebaran ajaran dan nilai-nilai SH Muda kepada masyarakat yang lebih luas.
Tidak hanya di Madiun, Soemo Soedardjo juga berperan sebagai salah satu sesepuh SH Terate di Porong. Kehadirannya di wilayah tersebut memberikan pengaruh besar dalam pembinaan dan pelatihan anggota. Dengan pengalamannya sebagai Ketua Pelatih, Soemo Soedardjo mampu membimbing para murid untuk mencapai tingkat keterampilan yang lebih tinggi.
Salah satu murid yang pernah dibimbing langsung oleh Soemo Soedardjo adalah Bapak Kresna Budaya. Di bawah bimbingan beliau, Bapak Kresna Budaya berhasil menempuh pelatihan hingga mencapai Tingkat 3 dalam SH Terate. Hingga kini, Bapak Kresna Budaya masih diberi kesehatan dan tetap menjadi bagian dari sejarah perkembangan SH. Fakta ini menunjukkan kesinambungan antara generasi pendahulu dan penerus dalam mempertahankan ajaran serta teknik latihan yang diwariskan.
Periode kepemimpinan Soemo Soedardjo sebagai Ketua Pelatih berlangsung dalam masa yang penuh tantangan, mengingat kondisi kesehatan Ki Hadjar Hardjo Oetomo yang menurun. Namun, dengan dedikasinya, Soemo Soedardjo mampu menjaga keberlangsungan kegiatan latihan dan pengembangan cabang SH Muda. Perannya tidak hanya sebagai pengganti sementara, tetapi juga sebagai figur penting yang memastikan nilai-nilai dan ajaran SH tetap terjaga.
3. Hassan Soewarno, Hoofd Leider SH PSC 1943-1945
Hassan Soewarno, atau yang dikenal dengan nama lengkap Hasan Djojoadi Soewarno, merupakan salah satu tokoh penting dalam sejarah SH Pemuda Sport Club (SH PSC) pada era 1940-an. Pada periode 1943 hingga 1945, beliau dipercaya memegang jabatan Hoofd Leider setelah ditunjuk secara aklamasi untuk menggantikan Bapak Hardjo Oetomo yang saat itu sedang sakit. Sebelumnya, jabatan tersebut sempat dipegang sementara oleh Bapak Soemo Soedardjo.
Selama memimpin SH PSC, Hassan Soewarno dikenal sebagai pendekar tangguh yang berprestasi di berbagai kejuaraan adu bebas pada masanya. Keahliannya di dunia pencak silat membuat namanya disegani, terutama di kalangan pesilat Surakarta dan Yogyakarta. Selain menjadi pimpinan tertinggi di SH PSC, beliau juga menjadi tokoh sesepuh SH Terate, salah satu perguruan pencak silat terbesar di Indonesia.
Pada tahun 1943, saat memimpin SH PSC, Hassan Soewarno dipanggil oleh penguasa Jepang untuk berperan dalam membentuk sebuah wadah organisasi bagi perguruan pencak silat yang ada di Madiun. Wadah tersebut kemudian dikenal dengan nama SHI THAI KU KAI atau Persatuan Perkumpulan Pencak Silat Madiun. Dalam struktur tersebut, Hassan Soewarno menjadi pemimpin dari seluruh pemimpin perguruan pencak silat yang bergabung di kota tersebut.
Sebagai pelatih, Hassan Soewarno membimbing banyak murid hingga mencapai tingkat Derde Trap (Tingkat 3). Beberapa nama murid yang pernah dididiknya antara lain Djoko Kuntjoro, Moch Ngemron, dan Slamet Riyadi. Para murid ini kemudian turut berperan dalam pengembangan dan pelestarian pencak silat di berbagai wilayah Indonesia.
Menurut catatan sejarah, Hassan Soewarno juga merupakan tokoh perintis SH Terate di wilayah Yogyakarta bersama dengan Eyang Salyo. Kiprahnya di Yogyakarta menandai perluasan pengaruh SH Terate di luar Madiun, sehingga perguruan ini semakin dikenal di kalangan masyarakat pencak silat di Jawa Tengah dan sekitarnya.
Beliau pernah menjadi figur sentral bagi komunitas pencak silat di Surakarta, sekaligus menjadi jembatan hubungan antarperguruan. Dedikasi dan kiprahnya menjadi salah satu tonggak perkembangan SH Terate di wilayah tersebut.
Hassan Soewarno wafat pada tahun 1989. Awalnya, beliau dimakamkan di Surakarta. Namun, jasadnya kemudian dipindahkan ke Karanganyar. Kepergiannya meninggalkan jejak sejarah yang kuat bagi perkembangan SH PSC dan SH Terate, serta bagi dunia pencak silat di Indonesia.
4. Hardjo Mardjoet, Hoofd Leider SH PSC 1945 -1951
Hardjo Mardjoet, yang memiliki nama asli Hardjo Pramojo, lahir pada tahun 1908 di Desa Sendung Lor, Watu Gede, Wlingi, Blitar. Ia merupakan anak kedua dari tiga belas bersaudara dari pasangan Sariyem. Pendidikan dasar ditempuhnya di Sekolah Rakjat (SR) di Blitar. Setelah lulus, ia melanjutkan pengetahuan melalui berbagai kursus, termasuk di bidang grafika dan percetakan.
Sejak muda, Hardjo Mardjoet dikenal berani. Pada tahun 1925, ia ikut bergerak bersama para pemuda Blitar melawan pemerintahan kolonial Belanda. Tahun 1926, ia ditangkap dan dipenjara di Blitar, lalu dipindahkan ke Nganjuk, dan akhirnya ke Penjara Cipinang, Jatinegara, Jakarta.
Di Penjara Cipinang, ia bertemu Ki Hadjar Hardjo Oetomo yang saat itu juga ditahan. Dari pertemuan inilah Hardjo Mardjoet mulai mempelajari pencak silat secara langsung dari Ki Hadjar. Bersama tahanan lain, seperti Siswo Soedarmo, ia menjalani latihan meskipun dalam kondisi penjara.
Pada tahun 1930, setelah dibebaskan dari Penjara Cipinang dan sempat menjalani masa di Penjara Kalisosok, Surabaya, Hardjo Mardjoet dijemput Ki Hadjar Hardjo Oetomo dan diajak tinggal di Desa Pilangbango, Madiun. Di sana ia diakui sebagai anak angkat kedua Ki Hadjar. Bersama saudara angkat lainnya, Soedarso dan Soemo Soedardjo, ia memperdalam ilmu pencak silat.
Selain belajar silat, Hardjo Mardjoet membantu mengantarkan anak Ki Hadjar ke sekolah dan menjual lukisan karya Ki Hadjar ke berbagai desa, bahkan hingga ke Pacitan dengan berjalan kaki. Ia kemudian bekerja di bengkel PJKA Madiun sebagai tukang bubut, bersama beberapa anggota Setia Hati lainnya, termasuk Ki Ngabehi Soerodiwirjo, pendiri Persaudaraan Setia Hati di Winongo.
Tahun 1935, ia bertemu Badini, yang kelak menjadi pasangan demonstrasi pencak silat bersamanya di berbagai acara, termasuk di Istana Kepresidenan pada 1954.
Pada tahun 1943, pemerintah militer Jepang mengadakan pertandingan bebas melawan perwira Jepang. Dalam ajang ini, Hardjo Mardjoet berhasil mengalahkan seorang pesumo dan mendapatkan hadiah uang. Rekannya, R. Hassan Soewarno, juga memenangkan pertandingan tersebut.
Tahun 1948, saat Ki Hadjar Hardjo Oetomo sakit parah, kepemimpinan sementara organisasi diserahkan kepada Hardjo Mardjoet. Pada 1954, ia menjabat Ketua Bagian Teknik Pencak Silat di IPSI Madiun.
Tahun 1945 – 1951 Hardjo Mardjoet dipercaya sebagai Hoofd Leider terakir SH Pemuda Sport Club (SH PSC) sebelum berubah menjadi Organisasi Persaudaraan Setia Hati Terate.
Atas jasanya dalam perjuangan kemerdekaan, tahun 1965 ia ditetapkan sebagai Pahlawan Perintis Kemerdekaan Republik Indonesia (PPKRI) dan menerima pensiunan dari Departemen Sosial. Hardjo Mardjoet meninggal dunia pada November 1967 di Wlingi, Blitar, dan dimakamkan di kampung halamannya. Ia meninggalkan seorang istri, Sriyati, dan empat anak: Haryono, Harsoyo, Harmini, dan Mardiono.
5. Santoso Kartoatmodjo, Ketua Umum SH Terate 1951-1953 & 1958-1966
Pada 25 Maret 1951, murid-murid Ki Hadjar Hardjo Oetomo mengadakan musyawarah di kediaman Santoso Kartoatmodjo yang beralamat di Jl. Dr. Soetomo 76, Madiun. Pertemuan ini menghasilkan kesepakatan untuk melestarikan ajaran Ki Hadjar Hardjo Oetomo dengan mengubah SH Pemuda Sport Club dari bentuk paguron menjadi organisasi Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT). Dalam musyawarah tersebut, Santoso Kartoatmodjo terpilih sebagai Ketua Umum pertama PSHT untuk periode 1951–1953.
Tidak lama kemudian, pada 12 April 1952, Ki Hadjar Hardjo Oetomo wafat dan dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Kelurahan Pilangbango, Madiun. Beliau meninggalkan seorang istri bernama Ny. Inem serta dua anak, Harsono dan Harsini.
Santoso Kartoatmodjo lahir pada 10 Oktober 1901. Ayahnya, Kartodimedjo alias Kerto Lampu, dan ibunya, Suminah, tinggal di Oro-oro Ombo, Madiun. Kartodimedjo adalah saudara Setia Hati Ki Hadjar Hardjo Oetomo, yang kemudian menitipkan Santoso untuk dilatih pencak silat oleh Hardjo Oetomo.
Pendidikan awal Santoso diselesaikan di HIS Madiun, lalu melanjutkan ke MTS (Midlebare Technische School) di Surabaya bersama Moch. Irsyad. Setelah lulus, ia bekerja di perusahaan Marine Surabaya (kini PT PAL), kemudian di Pabrik Gula Rejo Agung Madiun. Selanjutnya, ia menjadi Kepala Jawatan Listrik dan Gas di Madiun hingga 1947.
Pada masa Clash Belanda I, Santoso ditangkap karena tuduhan sabotase pemboman PLTA Gondosuli Madiun dan dipenjara selama enam bulan sebelum dibebaskan. Setelah itu, ia mendirikan Sekolah Teknik 1 Madiun (setingkat SMP), kemudian mendirikan STM di Madiun dan Kediri hingga pensiun sebagai guru.
Sebelum wafat, Ki Hadjar Hardjo Oetomo mewasiatkan kepada Santoso Kartoatmodjo untuk mengumpulkan saudara Setia Hati, membentuk wadah yang kuat, dan melestarikan ajarannya. Santoso bersama RM Soetomo Mangkoedjojo mengumpulkan 30 tokoh Setia Hati di kediamannya. Dalam musyawarah 25 Maret 1951 tersebut, disepakati nama Setia Hati Terate, pembuatan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, serta penetapan lambang organisasi.
Pengurus pertama terdiri dari Santoso Kartoatmodjo sebagai Ketua, Seomadji sebagai Sekretaris, Bambang Soedarsono sebagai Bendahara, dan pelatih Hardjo Mardjoet serta Badini.
Pada masa kepemimpinannya 1958-1966, Santoso menyetujui pengajaran materi karya Irsad berupa Senam 1–90, Senam Toya, Senam Belati, dan Kerambit sebagai materi pokok.
Tahun 1966, kepemimpinan PSHT beralih ke Raden Mas Soetomo Mangkoedjojo. Santoso Kartoatmodjo menikah dengan Sumini dan memiliki 11 anak, sembilan putra dan dua putri. Beberapa di antaranya adalah Soesanto Pudyodarmo, Soeseno Darmosasono, Soewignyo Dibyomartono, Soeyadi Purboyono, Sundari Miliarti, dan lainnya.
Beliau wafat pada Oktober 1990 dan dimakamkan di Surabaya.
6. Soetomo Mangkoedjojo, Ketua Umum SH Terate 1953-1956 & 1966-1974
Pada tanggal 13 September 1953, sebuah musyawarah penting kembali diselenggarakan di kediaman Soetomo Mangkoedjojo yang beralamat di Jalan Diponegoro 45, Madiun. Agenda utama musyawarah ini adalah penunjukan kepemimpinan baru untuk Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) setelah berakhirnya masa jabatan pimpinan sebelumnya.
Dalam musyawarah tersebut, Soetomo Mangkoedjojo resmi mendapatkan amanah untuk menggantikan Santoso Kartoatmodjo sebagai Ketua Pusat SH Terate. Masa kepemimpinan beliau berlangsung sejak tahun 1953 hingga tahun 1956. Penetapan ini dilakukan melalui mekanisme musyawarah internal organisasi, yang menandai transisi kepemimpinan dalam sejarah PSHT pada periode tersebut.
Berdasarkan berbagai sumber dokumentasi organisasi, Soetomo Mangkoedjojo dikenal sebagai figur yang memiliki postur tubuh tinggi, tegap, dan berpenampilan berwibawa. Beliau memimpin dengan ketegasan dalam pengambilan keputusan, disertai komitmen kuat terhadap prinsip-prinsip yang dipegang. Selain itu, catatan sejarah menunjukkan bahwa beliau memiliki pandangan luas dan sikap terbuka terhadap perkembangan organisasi.
Dalam interaksi sosial, beliau tercatat sebagai pribadi yang santun terhadap sesama anggota, serta mampu menjaga ketertiban dan disiplin di lingkungan PSHT. Ciri-ciri ini menjadi bagian dari identitasnya selama menjalankan tugas sebagai Ketua Pusat.
Selama masa jabatan Soetomo Mangkoedjojo, PSHT menjalankan program organisasi sesuai garis kebijakan yang telah disepakati bersama dalam musyawarah. Periode ini berlangsung selama tiga tahun, yaitu dari 1953 hingga 1956. Musyawarah yang berlangsung pada tahun 1953 menjadi tonggak awal beliau dalam memimpin organisasi.
Keputusan-keputusan strategis diambil secara kolektif bersama jajaran pengurus, dengan memperhatikan perkembangan anggota dan kegiatan organisasi. Hal ini sejalan dengan semangat kebersamaan yang menjadi dasar PSHT dalam mempertahankan nilai-nilai dan tujuan organisasi.
Pada tahun 1956, terjadi perubahan dalam struktur kepengurusan PSHT karena Soetomo Mangkoedjojo harus pindah tugas dari Bank Rakyat Indonesia (BRI) Cabang Madiun ke BRI Surabaya (Kaliasin). Perpindahan tugas tersebut menyebabkan beliau tidak lagi dapat menjalankan fungsi sebagai Ketua Pusat SH Terate.
Sebagai tindak lanjut, jabatan Ketua Pusat kembali dipegang secara bergantian oleh Irsad. Sementara itu, jabatan sekretaris dipercayakan kepada Pak Soedarsono. Perubahan ini menandai berakhirnya periode kepemimpinan Soetomo Mangkoedjojo di PSHT, sekaligus memulai babak baru dalam kepengurusan organisasi.
Dokumen administrasi SH Terate mencatat, tanggal 11 Agustus 1966, digelar kongres pengurus pusat SH Terate. Untuk menyelamatkan SH Terate paska Pemberontakan G30S/PKI, perlu melakukan refreshing pengurus SH Terate.
Refreshing pengurus ini tercatat dalam Surat Intruksi bernomor 006/Sec/SHT/66 yang ditandatangani Ketua I SH Terate Soetomo Mangkoedjojo dan Sekretaris R. Koeswanto BA (Kakak Pendiri IKSPI Totong Kiemdarto).
Pada tahun 1966-1974, Soetomo Mangkoedjojo, kembali diangkat sebagai Ketua SH Terate. Wakil Ketua II dan III, masing-masing dijabat Bapak Harsono (Putra Kandung Ki Hadjar Hardjo Oetomo) dan RM. Imam Koesoepangat.
Keputusan lain yang dihasilkan pada kongres pengurus pusat ini adalah, SH Terate bersikap netral dan membebaskan diri dari segala kepentingan politik praktis.
Sektor program pembinaan siswa SH Terate, diangkat 3 orang untuk menduduki Dewan Pelatih SH Terate. Mereka adalah, Badini, Harsono dan RM.Imam Koesoepangat.
14 Desember tahun 1975, Soetomo Mangkoedjojo wafat.Jenazahnya dimakamkan di Tempat Pemakaman Cangkring, Kota Madiun, Jawa Timur.
Baca Juga : R.M Sukoco Lawan Tanding R.M Imam Koessoepangat
7. Irsad Hadi Widagdo, Ketua Umum SH Terate 1956-1958
Pada masa kepemimpinan Irsad Hadi Widagdo di SH Terate lahir sejumlah keputusan penting yang mempengaruhi perkembangan organisasi. Salah satu kontribusi besarnya adalah penciptaan Kode Pendekar Setia Hati Terate, yang digunakan untuk mengenali sesama warga SH Terate.
Penciptaan Kode Pendekar dilatarbelakangi oleh meningkatnya jumlah warga SH Terate, yang membuat sebagian anggota tidak saling mengenal karena perbedaan tempat latihan dan tahun pengesahan. Melalui kode ini, seorang warga dapat memastikan apakah orang yang baru dikenal benar-benar anggota PSHT. Prosesnya dilakukan secara halus, misalnya dengan memberikan kode tertentu. Jika kode tersebut dijawab dengan benar, artinya orang tersebut adalah warga SH Terate. Pertemuan antarwarga yang teridentifikasi biasanya disambut dengan jabat tangan erat dan berangkulan sebagai tanda persaudaraan.
Kode Pendekar ini juga berfungsi sebagai alat verifikasi terhadap klaim keanggotaan. Jika seseorang mengaku sebagai warga SH terate namun tidak dapat menjawab kode dengan tepat, maka ia bukan anggota resmi (sering disebut “warga awu-awu” atau palsu). Kode ini masih digunakan hingga sekarang, khususnya bagi warga yang telah disahkan menjadi Warga Tingkat I.
Pada periode kepemimpinannya, Irsad Hadi Widagdo juga melakukan evaluasi dan penyempurnaan terhadap teknik pencak silat SH Terate. Beberapa jurus diakurasikan untuk meningkatkan efektivitas gerakan. Misalnya, pukulan pada Jurus 1 yang sebelumnya berbentuk mbandul diubah menjadi menohok. Gerak colok yang awalnya menggunakan dua jari disempurnakan menjadi lima jari rapat untuk menambah kekuatan. Jurus Delapan juga mengalami perubahan pada pasangan tangkisan dan penambahan dua kali tendangan.
Selain perbaikan jurus, beliau menciptakan rangkaian Senam 1 hingga Senam 90 sebagai dasar gerakan siswa SHH Terate. Senam ini digunakan untuk memperkuat fondasi teknik para anggota.
Salah satu murid langsung Irsad Hadi Widagdo adalah Raden Mas Imam Koesoepangat (dikenal sebagai Mas Imam). Ia mulai berlatih pada tahun 1953 dan selama tiga tahun mendapatkan bimbingan langsung dalam Senam 1 sampai Senam 90, termasuk pendalaman akurasi jurus. Mas Imam disahkan menjadi pendekar PSHT pada tahun 1958 dan kemudian dikenal sebagai tokoh berpengaruh di organisasi.
Di luar PSHT, Irsad Hadi Widagdo bekerja di Jawatan Kereta Api (PJKA) dan beberapa kali mengalami penugasan ke berbagai daerah, antara lain Sigli (1946), Banda Aceh (1951), Semarang (1952), Madiun dan Jepang (1957), kembali ke Aceh (1959), serta Bandung (1963) hingga pensiun. Tempat tinggal terakhirnya berada di Jalan Elang 1 Nomor 10, Bandung.
1956 – 1958: Irsad Hadi Widagdo memimpin PSHT. Pada masa ini jurus-jurus disempurnakan dan Senam 1 hingga Senam 90 diciptakan.
1958 – 1965: Kepemimpinan beralih ke Santoso Kartoatmodjo, memperkenalkan Marsh PSHT karya Adi Yasco.
1965 – 1966: Aktivitas PSHT menurun akibat situasi politik pasca G30S/PKI, banyak tokoh hilang, dan organisasi sempat vakum.
11 Agustus 1966: Pengurus pusat mengadakan rapat untuk mengaktifkan kembali PSHT. Soetomo Mangkoedjojo terpilih sebagai Ketua Umum periode 1966 – 1974.
Kontribusi Irsad Hadi Widagdo di SH Terate tidak hanya berpengaruh pada masa kepemimpinannya, tetapi juga berlanjut hingga kini melalui penggunaan Kode Pendekar, penyempurnaan jurus, dan penciptaan senam dasar yang menjadi warisan penting bagi generasi berikutnya.
Beliau wafat pada 7 Juni 1974 dan dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Sirnaraga, Bandung.
8. R.M Imam Koesoepangat, Ketua Umum SH Terate 1974-1977
R.M Imam Koesoepangat, merupakan tokoh penting dalam sejarah Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT). Beliau adalah putra ketiga dari lima bersaudara yang dikenal dengan sebutan Pendawa Lima. Imam Koesoepangat lahir dari pasangan Raden Ayu Koesmiyatoen dan Raden Mas Ambar Koessensi.
Tanggal kelahirannya tercatat pada Jumat Pahing, 18 November 1938, di Madiun. Keluarganya memiliki latar belakang bangsawan dan pemerintahan. Kakeknya, Kanjeng Pangeran Ronggo Ario Koesnoningrat, menjabat sebagai Bupati Madiun VI, sementara neneknya, Raden Ajeng Djuwito, juga dikenal sebagai sosok terpandang di wilayah tersebut.
Perjalanan Imam Koesoepangat dalam organisasi PSHT dimulai pada masa sulit, khususnya setelah tragedi berdarah Madiun yang menyebabkan vakumnya kegiatan organisasi. Pada Kongres I SH Terate tahun 1974, beliau terpilih sebagai Ketua Umum. Dalam struktur kepengurusan tersebut, Soetomo Mangkoedjojo menjabat sebagai Dewan Pusat PSHT.
Penetapan Imam Koesoepangat sebagai Ketua Umum menjadi awal dari proses pengaktifan kembali PSHT. Ia berhasil menghimpun kembali para sesepuh dan anggota lama untuk menghidupkan organisasi yang sempat terhenti kegiatannya. Langkah ini menjadi titik balik penting bagi keberlangsungan PSHT di tingkat nasional.
Sejak terpilih pada 1974, Imam Koesoepangat terus memegang peran sentral dalam kepemimpinan PSHT. Ia menjabat sebagai Ketua Pusat maupun Ketua Dewan Pusat di berbagai periode. Salah satu momen penting dalam masa kepemimpinannya adalah pada tahun 1981, ketika PSHT mulai menerapkan kebijakan pembagian kewenangan dalam struktur pimpinan.
Dalam sistem baru tersebut, Raden Mas Imam Koesoepangat bertanggung jawab di Bidang Ideal (Kerohanian) dengan posisi sebagai Ketua Dewan Pusat, sedangkan H. Tarmadji Boedi Harsono memegang jabatan Ketua Umum yang membawahi Bidang Profesional meliputi organisasi dan pengembangan.
Pembagian kewenangan ini menjadi salah satu bentuk penataan organisasi yang memberi kejelasan pembagian tugas antar-pimpinan, serta memperkuat koordinasi internal PSHT.
Kepemimpinan Imam Koesoepangat dalam PSHT berlangsung selama beberapa periode, dengan kontribusi signifikan dalam menjaga kesinambungan organisasi. Meski menghadapi berbagai tantangan, kiprahnya dalam menghidupkan kembali PSHT dari masa vakum hingga mampu berkembang di seluruh Indonesia menjadi bagian penting dari sejarah organisasi ini.
Kehidupan dan kiprah Imam Koesoepangat tidak hanya merefleksikan perjalanan seorang tokoh dalam organisasi bela diri, tetapi juga mencatatkan perannya dalam membangun kembali solidaritas di tengah masa krisis. Dengan latar belakang keluarga bangsawan Madiun, perannya di PSHT menjadi bagian integral dari sejarah perkembangan organisasi tersebut.
Sosoknya wafat pada tanggal 16 November 1987. Jenazahnya dimakamkan di Pemakaman Taman, Kota Madiun.
9. Badini, Ketua Umum SH Terate 1977-1981
Badini lahir di Magetan pada hari Minggu Pon, 9 September 1923. Beliau dikenal sebagai tokoh penting dalam SH Terate dan memimpin organisasi tersebut hingga tahun 1988. Pada tahun yang sama, tepatnya Kamis Kliwon, 3 November 1988, Badini wafat dan dimakamkan di Desa Ringin Agung, Ngariboyo, Magetan. Semasa hidupnya, beliau pernah tinggal di Jl. Mayangkembar 5, Desa Oro-oro Ombo, Kartoharjo, Madiun.
Pada tahun 1977, SH Terate mengadakan Kongres II di Madiun. Kongres tersebut menghasilkan keputusan penting, yaitu mengangkat Badini sebagai Ketua Pusat SH Terate Madiun, sedangkan RM Imam Koesoepangat menjabat sebagai Dewan Pusat. Keputusan ini juga menandai dimulainya peran KRAT H. Tarmadji Boedi Harsono Adinagoro, SE, yang dipercaya menduduki jabatan Ketua I.
Meskipun menjabat sebagai Ketua Pusat, Badini memberikan kepercayaan kepada Imam Koesoepangat untuk memimpin prosesi pengesahan warga baru PSHT. Dalam masa kepemimpinannya, Badini tetap aktif turun ke lapangan untuk melatih siswa dan warga yang ingin mempelajari permainan pencak seni SH Terate.
Badini adalah pendekar tingkat III SH Terate asal Magetan yang memiliki peran penting dalam sejarah organisasi. Beliau dikenal sebagai penyempurna sekaligus pencipta lambang SH Terate, yang menjadi simbol identitas organisasi hingga saat ini. Selain itu, beliau memiliki keahlian tinggi dalam permainan tunggal (solospel) pencak silat, dengan gerakan yang matang, luwes, dan penuh makna.
Pada masa pemerintahan Presiden Ir. Soekarno, Badini mendapat kesempatan untuk tampil di Istana Negara. Dalam kesempatan tersebut, beliau memperagakan pencak silat seni berpasangan bersama Bapak Hardjo Mardjut. Penampilan ini menjadi salah satu catatan penting perjalanan seni bela diri Indonesia di tingkat nasional.
Badini memimpin SH Terate hingga tahun 1988, sebelum wafat pada akhir tahun tersebut. Kepergian beliau meninggalkan jejak sejarah yang signifikan bagi PSHT, khususnya dalam pembinaan organisasi, pelestarian pencak silat seni, dan penguatan identitas melalui lambang PSHT yang diciptakannya. Lokasi peristirahatan terakhirnya di Desa Ringin Agung, Magetan, kini menjadi bagian dari sejarah PSHT dan dunia pencak silat di Indonesia.
10. Tarmadji Boedi Harsono, Ketua Umum SH Terate 1981-2015
Tarmadji Boedi Harsono mulai dipercaya memimpin organisasi SH Terate pada periode kepengurusan 1977–1981 sebagai Ketua I Pengurus Pusat. Pada masa ini, terjadi perubahan bentuk uang mahar pengesahan dari sistem ketengan atau benggolan menjadi uang logam resmi yang berlaku.
Pada 13 November 1981, Musyawarah Besar (Mubes) III SH Terate menetapkan Tarmadji Boedi Harsono sebagai Ketua Umum, sementara Imam Koes Soepangat menduduki posisi Dewan Pusat. Dalam Mubes ini, ditetapkan materi baku PSHT, yaitu 36 Jurus dan 90 Senam Dasar. Periode ini juga menandai pembentukan Materi Jurus Toya karya Sipit Tri Susilo Haryono serta Senam Masal yang diciptakan Imam Suyitno.
Tahun 1985, Mubes IV SH Terate digelar di Madiun, dan Tarmadji Boedi Harsono kembali dipercaya memimpin PSHT. Imam Koes Soepangat tetap menjabat sebagai Dewan Pusat. Pada masa ini, dimulai pembangunan Padepokan Agung di Jl. Merak, Nambangan Kidul, Madiun.
Mubes V pada tahun 1991 menetapkan Tarmadji Boedi Harsono tetap sebagai Ketua Umum, sementara Marwoto menjabat Dewan Pusat SH Terate. Pada Mubes VI yang berlangsung 1–3 September 2000, Tarmadji Boedi Harsono kembali memimpin PSHT, dengan Marwoto masih sebagai Dewan Pusat.
Rakernas SH Terate pada 16–17 Oktober 2009 dilaksanakan sebagai tindak lanjut terbitnya SK AD/ART 2008. Hasil Rakernas menetapkan Tarmadji Boedi Harsono tetap menjabat Ketua Umum sekaligus Ketua Dewan Pusat. Untuk memperkuat struktur organisasi, dibentuk Dewan Pendekar yang terdiri dari sembilan tokoh PSHT. Dalam periode ini, Muhammad Taufiq mulai dipercaya sebagai Ketua IV Pengurus Pusat.
Pada 10 April 2014, Tarmadji Boedi Harsono mengeluarkan SK Reorganisasi Pengurus Pusat SH Terate. Dalam keputusan tersebut, Richard Simorangkir dari Sleman, Yogyakarta, ditunjuk sebagai Ketua Pusat, sedangkan Tarmadji Boedi Harsono menjabat Dewan Pusat.
Pada tahun yang sama, Richard Simorangkir meninggal dunia di kediamannya di Sleman. Untuk sementara, Ketua I Pengurus Pusat SH Terate, Arief Soeryono, ditunjuk sebagai Pelaksana Tugas (PLT) Ketua Pusat hingga terlaksananya Parapatan Luhur berikutnya.
Tarmadji Boedi Harsono Meninggal pada 20 Oktober 2015 kemudian dimakamkan di pemakaman keluarga yang terletak di belakang Masjid Umar Al-Farouk, Jl. Nila, Kelurahan Nambangan Kidul, Kota Madiun.
Baca Juga : PENGGELAPAN ASET YAYASAN SH TERATE, MULAI MUNCULKAN NAMA TERSANGKA
11. Richard Simorangkir, Ketua Umum SH Terate 2014
Kol Purn Ricard Simorangkir, S.Ip, M.Sc lahir 14 Agustus 1948 adalah Purnawirawan perwira menengah dan juga mantan Ketua umum SH Terate 2014.
Ia lahir di Madiun pada 14 Agustus 1948 dan memiliki latar belakang pendidikan militer yang solid. Richard menyelesaikan pendidikannya di Akademi Militer pada tahun 1973, melanjutkan pendidikan di Suslapa pada tahun 1983/1984, dan akhirnya di Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (Seskoad) pada tahun 1990/1991.
Pada tahun 2014, Richard Simorangkir ditunjuk sebagai Ketua Umum SH Terate, sesuai dengan Surat Keputusan Nomor: 86/SK/PSHT.000/IV/2014 yang dikeluarkan pada 10 April 2014. Surat keputusan tersebut disahkan oleh Ketua Umum SH Terate Pusat Madiun sebelumnya, H. Tarmadji Boedi Harsono. Posisi Richard sebagai Ketua Umum mengantarkan perubahan besar dalam kepengurusan organisasi, di mana hampir 80% pengurus pusat yang baru merupakan generasi muda. Sementara itu, sesepuh atau tokoh lama yang semula duduk di posisi organisasi bergeser untuk lebih fokus pada bidang kerohanian dalam struktur organisasi tersebut.
Selama masa baktinya sebagai Ketua Umum, Richard Simorangkir dikenal sebagai sosok yang tegas dan berkomitmen dalam menjalankan setiap tugas yang diembannya. Ia berusaha untuk menjaga kelestarian nilai-nilai yang sudah menjadi pedoman hidup bagi anggota SH Terate, sekaligus membawa pembaruan yang relevan bagi perkembangan organisasi. Kepemimpinannya mengedepankan semangat kerja keras dan saling menghormati di dalam organisasi.
Richard Simorangkir meninggal dunia pada 6 Desember 2014 di kediamannya yang terletak di Ngemplak, Sleman.
12. Muhammad Taufiq, Ketua Umum SH Terate 2016-Sekarang
Pada tanggal 11-12 Maret 2016, Parapatan Luhur PSHT mengeluarkan keputusan penting yang menetapkan Dr.Ir.H. Muhammad Taufiq.,SH.M.Sc sebagai Ketua Umum dan R.B. Wiyono sebagai Majelis Luhur untuk memimpin organisasi Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) selama lima tahun ke depan. Keputusan ini diambil setelah melalui proses pertimbangan matang oleh Majelis Luhur, yang mengakui dedikasi dan kemampuan Muhammad Taufiq dalam memimpin organisasi.
Namun, kepengurusan yang ditetapkan pada Parapatan Luhur 2016 sempat dihadapkan pada upaya kudeta oleh beberapa pihak. Meskipun ada tantangan tersebut, hasil dari Parapatan Luhur 2016 tetap diakui secara sah berdasarkan putusan Kasasi 1712 K/PDT/2020. Kasasi ini menegaskan bahwa kepengurusan yang ditetapkan melalui Parapatan Luhur 2016 adalah sah menurut hukum, dan keputusan tersebut tidak terbantahkan di tingkat hukum.
Pada 29 Oktober 2021, PSHT kembali mengadakan Parapatan Luhur untuk melaksanakan pertanggungjawaban dan reorganisasi kepengurusan untuk lima tahun ke depan. Dalam Parapatan Luhur 2021, Muhammad Taufiq kembali diberikan amanah sebagai Ketua Umum, bersama dengan Edy Asmanto yang menjabat sebagai Ketua Majelis Luhur dan R.B. Wiyono sebagai Ketua Majelis Ajar PSHT.
Penunjukan Muhammad Taufiq sebagai Ketua Umum PSHT dalam Parapatan Luhur 2016 di Asrama Haji, Jakarta, menjadi momen penting dalam sejarah organisasi ini. Keputusan tersebut tidak hanya mencerminkan kepercayaan terhadap kemampuan kepemimpinannya, tetapi juga menegaskan bahwa beliau memiliki peran sentral dalam memajukan PSHT. Begitu pula, pada Parapatan Luhur 2021 di Magetan, kepercayaan terhadap Muhammad Taufiq sebagai Ketua Umum kembali diperkuat untuk periode kepemimpinan berikutnya.
Berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor AHU-0005248.AH.01.07.Tahun 2025, organisasi PSHT di bawah kepemimpinan Muhammad Taufiq secara resmi diakui negara. Hal ini menjadikan kepengurusan PSHT yang dipimpin oleh Muhammad Taufiq sebagai satu-satunya organisasi PSHT yang sah dan diakui secara hukum di Indonesia.
Dengan landasan hukum yang kuat dan pengakuan negara, kepemimpinan Muhammad Taufiq dalam PSHT telah menunjukkan komitmen yang tinggi terhadap kelangsungan dan perkembangan organisasi, memastikan bahwa PSHT tetap menjadi wadah yang sah dan terpercaya bagi seluruh anggotanya.
13. R. Moerdjoko HW, Ketua Kudeta SH Terate 2017-2025
Bulan Suro 27-29 Oktober 2017 Sekolompok warga SH Terate yang didalangi R. Moerdjoko HW dan Issoebiantoro merasa tidak puas dengan kepemimpinan Muhammad Taufiq yang saat itu terpilih sebagai Ketua Umum SH Terate hasil Parapatan Luhur 2016. Tahun 2017 Mereka melakuan kudeta dan gugatan hukum terhadap Pengurus Pusat yang telah terbentuk sebelumnya dan mendirikan Persaudaraan Setia Hati Terate Pusat Madiun (PSHTPM).
Secara hukum usaha PSHTPM pun mengalami jalan buntu, gugatan mereka terhadap Hasil Parapatan Luhur 2016 juga kalah, berdasarkan hasil kasasi Putusan MAHKAMAH AGUNG 1712 K/PDT/2020 telah inkracht menyatakan seluruh produk SH Terate hasil Parluh 2016 tetap berlaku. bisa dicek di link berikut Direktori Putusan Mahkamah Agung.
Usaha mereka untuk merampas Badan Hukum SH Terate pun kembali mengalami kegagalan, 1 Juli 2025 Badan Hukum milik kelompok PSHTPM yaitu AHU-0001626.AH.01.07.Tahun 2022 dicabut oleh Kemenkumham. Tak lama berselang berdasarkan pertimbangan berbagai putusan pengadilan yang mengakui keabsahan kepengurusan Ketua Umum SH Terate Dr IR Muhammad Taufiq, SH, M.Sc, maka pada 18 Juli Keluar Keputusan Menteri Hukum Republik Indonesia, Nomor AHU-0005248.AH.01.07.Tahun 2025 (link Badan Hukum Persaudaraan Setia Hati Terate) yang menandakan saat ini hanya SH Terate dibawah kepemimpinan Muhammad Taufiq lah yang Sah dan diakui Negara.
Demikianlah sejarah panjang estafet kepemimpinan di SH Terate sejak ere dirintis tahun 1922 oleh Ki Hadjar Hardjo Oetomo hingga saat ini dipimpin oleh Ketua Umum Dr.Ir.H. Muhammad Taufiq, SH.,M.Sc.
(ikrar,rizki)

