Berita TerkiniTerpopuler

Sutrisno Budi : Tolak Nyawiji Analisis Blunder

Ilmusetiahati.com -Dalam dinamika sosial dan organisasi Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT)), istilah “tolak nyawiji” belakangan menjadi sorotan. Nyawiji sendiri bermakna bersatu atau menyatu dalam satu visi dan tujuan. Namun, ketika upaya untuk bersatu justru ditolak, maka timbul pertanyaan besar: bagaimana dampaknya terhadap persepsi publik dan dukungan masyarakat luas?

Mas Sutrisno Budi dalam sebuah diskusi menyebut bahwa tolak nyawiji adalah sebuah blunder. Menurutnya, ketika satu pihak mengajak untuk menyatukan langkah, sementara pihak lain justru menolaknya, maka masyarakat akan melihat hal itu sebagai bentuk inkonsistensi yang merugikan. Penolakan ini tidak hanya sekadar keputusan kecil, melainkan bisa berimplikasi besar terhadap citra di mata publik.

Baca Juga : Malam Tirakatan 17 Agustus, PSHT Serukan Doa, Persatuan, dan Semangat Kemerdekaan

Mengapa Tolak Nyawiji Dinilai Sebagai Blunder?

Setelah sekian lama terjadi konflik yang menimbulkan keresahan di tengah masyarakat, ajakan untuk bersatu mestinya menjadi jalan keluar yang dinantikan. Namun, penolakan terhadap ajakan tersebut justru menimbulkan tanda tanya besar:

Apa yang dipikirkan oleh pihak-pihak terkait seperti pemerintah, aparat hukum, maupun organisasi lain?

Mas Tris menegaskan bahwa masyarakat akan lebih bersimpati kepada pihak yang mengajak berdamai dan bersatu. Sebaliknya, pihak yang menolak nyawiji akan dipandang sebagai pihak yang masih ingin melanjutkan konflik, sehingga bisa kehilangan dukungan.

Penolakan untuk nyawiji tidak hanya berdampak pada lingkup internal, tetapi juga menembus ke berbagai lapisan masyarakat dan institusi. Mulai dari IPSI (Ikatan Pencak Silat Indonesia), aparat penegak hukum, polisi, jaksa, hakim, hingga pemerintah pusat, provinsi, kabupaten, kota, kecamatan, bahkan ke tingkat RT/RW—semua akan menilai secara objektif siapa yang benar-benar menginginkan perdamaian.

Ketika konflik telah berlangsung lama, masyarakat umumnya sudah lelah. Mereka mendambakan kedamaian dan ketertiban kembali hadir. Maka, ketika ada ajakan untuk bersatu, penolakan dianggap sebagai langkah mundur. Inilah yang disebut oleh Mas Tris sebagai “blunder”.

Lebih jauh, Mas Tris menjelaskan bahwa sikap menolak nyawiji justru akan membuat dukungan publik jatuh kepada pihak yang mengajak bersatu. Misalnya, dalam konteks ini dukungan masyarakat dan pemerintah akan lebih condong kepada pihak yang terlihat tulus ingin berdamai, dalam hal ini disebutkan nama Mas Taufiq.

Baca Juga : Profil Ketua Umum PSHT Muhammad Taufiq

Artinya, tolak nyawiji bukan hanya soal perbedaan pendapat, tetapi juga menyangkut legitimasi moral dan politik di mata publik. Setiap penolakan terhadap persatuan bisa diartikan sebagai keengganan untuk menutup konflik, yang akhirnya dapat memperburuk reputasi pihak penolak.

Dari uraian tersebut, jelas terlihat bahwa keputusan untuk menolak bersatu bukanlah langkah bijak. Dalam konteks kehidupan sosial, budaya, maupun organisasi, persatuan selalu lebih diutamakan dibanding perpecahan.

Masyarakat, pemerintah, maupun pihak eksternal lainnya akan lebih mendukung pihak yang konsisten mengupayakan perdamaian. Sebaliknya, mereka yang menolak nyawiji akan menghadapi risiko kehilangan legitimasi, dukungan, serta simpati publik.

Dengan demikian, tolak nyawiji dapat dianggap sebagai blunder strategis yang berpotensi melemahkan posisi sebuah kelompok. Di tengah era modern yang menuntut keterbukaan, kolaborasi, dan kebersamaan, jalan terbaik adalah menerima ajakan untuk menyatu dan mengakhiri perselisihan.

Rizkia Putra

Saya ada seorang jurnalis berpengalaman dalam bidang media dan SEO selama 5 tahun